Ketua Pansus Tata Ruang DPRD Jawa Barat, Hasbullah Rahmad: Raih Kewenangan Kelola Situ untuk Sumber Baku Air Konsumsi dan Kesejahteraan Masyarakat

Depoklestari.com – Kewenangan penataan setu di Kota Depok menjadi membingungkan bagi masyarakat. Tak sedikit warga yang mencibir kepada Pemerintah Kota Depok lantaran sejumlah setu atau telaga yang tak terawat padahal, kewenangan-penguasaan lahan kawasan setu tidak berada di pemerintah daerah kota, kabupaten, maupun provinsi melainkan, di pemerintah pusat (pempus) yaitu di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)  yaitu di Direktorat Jenderal Sumber Daya Air (Ditjen SDA). Segala sesuatu terkait penanganan oleh pemerintah daerah harus melalui birokrasi kepada pempus.

Terkait permasalahan setu ini, Ketua Pansus Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) DPRD  Jawa Barat, M Hasbullah Rahmad mengakui adanya confuse (kebingungan) bagi pemerintahan provinsi dan daerah. Padahal, letak setu-setu di wilayah kota dan kabupaten, pencatatan setu sebagai aset berada di pemerintah provinsi sedangkan, kewenangan berada mutlak di Kementerian PUPR.

“Kenyataannya tak sedikit setu atau danau tersebut yang tak mendapat perawatan yang baik. Terbengkalai, terjadi pendangkalan ataupun diokupasi oleh oknum masyarakat untuk kepentingan pribadi atau perusahaan. Padahal jika dapat dikelola dengan baik dapat memberikan nilai tambah atau keuntungan kepada masyarakat dan masyarakat. Setu-setu di seluruh Jawa Barat terdaftar di buku besar aset pemprov Jawa Barat,” ujar Hasbullah Rahmad.   

M Hasbullah Rahmad berjumpa dengan pejabat Pemerintah Kota Depok, Jawa Barat

Terkait, kerja Pansus TRW Jawa Barat ini, sebut Hasbullah, pansus akan mendatangi Kementerian PUPR untuk bertanya tentang batasan kewenangan pengelolaan setu-setu tersebut.

“Karena kalau tidak ada batasan kewenangan  mak,  APBD Kota dan Kabupaten, termasuk APBD provinsi dalam rangka perawatan dan pengawasan setu menjadi sulit dianggarkan. Resikonya, setu potensi menjadi terbengkalai. Akhirnya, banyak setu di Indonesia yang diokupasi oleh pelbagai pihak. Padahal, dalam regulasi tentang setu paling tidak, 50 meter dari sempadan setu tidak boleh ada bangunan dan untuk ruang terbuka hijau. Tetapikan, existing di lapangan banyak sekali setu yang mengalami pengurangan luas. Setu yang jadinya, menjadi tendon atau tempat penampungan dan cadangan air beralih menjadi daratan,” ungkap Hasbullah Rahmad yang Ketua DPD PAN Kota Depok ini.

Nah, seru Anggota Komisi VI DPRD Jawa Barat ini, melalui perjuangan Pansus RTRW yang sedang berjalan dalam inventarisir masalah ini, Pemerintahan Jawa Barat dibatasi kewenangan yang jelas dan tegas yaitu, hal mana yang jadi kewenangan pempus yakni Kementerian PUPR, Ditjen SDA, Balai Besar Wilayah Sungai dan hal apa di  setu yang menjadi kewenangan provinsi dan daerah. 

“Sehingga, karena di APBN dan di APBD itu ada anggaran perawatan yang tidak jadi confuse. Menjadi aneh juga, provinsi, kota, dan kabupaten hanya ketempatan lokasi setu saja tapi tak punya kekuasaan.  Ada cerita, di tahun 2019, balai besar wilayah sungai dan setu, menganggarkan anggaran pengerukan Setu Rawa Kalong di Cimanggis Kota Depok, ternyata Pemerintah Provinsi Jawa Barat juga menganggarkan penataan Setu Rawa Kalong tersebut,” kisah Hasbullah.  

Maka, Hasbullah memberikan alternatif sara misalnya, kewenangan penguasaan kawasan setu ini diukur dari batasan luas kawasan setu contohnya, Jika luas setu tersebut di atas 30 hektare menjadi kewenangan pusat, dan setu dengan luas 15 hingga 30 hektar menjadi kewenangan provinsi kemudian, setu berluas  di bawah 15 hektare adalah kewenangan daerah. Jika ada batasan kewenangan seperti itu maka semua dinas terkait dapat menganggar biaya perawatan setu termasuk penataan dan penghijauan.

Hasbullah menjelaskan kemanfaatan setu menjadi tandon air dan kemanfaatan air setu menjadi sumber air perusahaan air daerah. Sangat disayangkan jika awalnya setu menjadi tandon air sebanyak 50 meter kubik kemudian lantaran terjadi pendangkalan sehingga hanya  mampu menampung 25 ribu meter kubik saja.

“Yang mana 25 meter kubik air, sedangkan yang lainnya melainkan lumpur. Harusnya, tetap terjaga debit air yang tertampung di danau. Sebaiknya, malah ditingkatkan  dapat menampung menjadi 150 meter kubik air. Hal ini terjadi karena tak ada perawatan, pengawasan, pengerukan hingga pemagaran. Akhirnya, kondisi setu nyaris rata memprihatinkan,” sesalnya.

Legislator kawakan ini, yang sudah dua periode menjadi Anggota DPRD Kota Depok dan dua dua periode pula menjadi Anggota DPRD Jawa Barat di Fraksi PAN, merasa pempus tidak konsisten melakukan perawatan setu. Ada keabaian yang dilakukan oleh pempus dan tak mampu merawat aset negara. Sedangkan dapat diketahui anggaran Kementerian PUPR tidak akan mampu menangani semuanya jika dibebankan kepada Ditjen SDA semata. Untuk perawatan setu-setu di Kota Depok mendapat bantuan dana hibah dari Pemerintah DKI Jakarta. DKI Jakarta punya kepentingan dengan penanganan air di hulu supaya tidak melimpah mengalir ke Jakarta.

 “Makanya saran saya kepada pemerintah pusat adalah supaya di bagilah kewenangan antara pusat dengan daerah. Jadi Balai Besar Wilayah Sungai mengurusi, sungai saja di seluruh Indonesia. Sedangkan pengurusan setu diserahkan saja kepada daerah. Sehingga, kita setiap.tahun menganggarkan untuk perawatan setu itu. Contoh, Gubernur Jawa Barat menginginkan bahwa setu itu tidak hanya menajdi tandon air, tetapi menjadi destinasi wisata. Contohnya ya, itu, Jawa Barat telah membangun destinasi wisata di Setu Rawa Kalong sekaligus tempat penampungan air sebagai sumber air tanah.

Sangat disesalkan, sebut Hasballah, banyak setu menjadi tempat pembuangan sampah, keramba ikan, ataupun asusila. Maka, jika tidak ada perawatan setu menjadi terbengkalai, pendangkalan hingga akan dipenuhi eceng-gondok.

“Berdasarkan catatan aset setu di Pemprov Jawa Barat ada 23 setu di Kota Depok. Permasalahannya, pemprov tidak dapat menyentuh setu untuk perawatan gegara tak punya kewenangan sehingga tak punya rencana pembangunan kepada setut,” ulas Hasbullah.  

Abang Has—sapaan warga Kota Depok kepada legislator sejak pascareformasi 1998 ini—sangat serius mengadvokasi kelestarian dan konservasi setu dan sungai ini, menginginkan setu dan sungai menjadi ‘serambi depan’ lingkungan hidup. Setu, harapnya, jika ditata dapat menjadi ruang terbuka untuk destinasi aktivitas public. Di kawasan setu dapat dibangun sarana seni, parkiran, mushala, wisata kuliner, wisata air, dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat setempat mendapatkan keuntungan keekonomian.

Hasbullah mengingatkan warga Kota Depok dalam permasalahan setu ini, hindari untuk menyalahkan Pemerintah Kota Depok bila setu tidak sesuai harapan lantaran memang, penanganan setu tidak menjadi tanggung-jawabnya.

“Salah…. Salah…. Salah…! Jangan kita menyalahkan Kota Depok tak peduli pada setu. Salah…. Salah…. Salah.  Mereka bukan tidak peduli melainkan, karena kewenangan mereka tidak ada. Setu bukan punya mereka, dan kewenangan pun tak punya. Nah, pemprov punya, tapi kembali, hanya sebagai pepunya aset tapi kewenangannya tak punya, ini aneh. Kalau Jawa Barat hendak menata asetnya (setu), kita harus mendapat izin dari pusat. Namanya rekomtek (rekomendasi teknis, red.). Kalau tidak keluar rekomteknya maka, tidak boleh kita membangun walau secuil pun. Rekomteknya dikeluarkan oleh Kementerian PUPR dalam hal ini Ditjen SDA,” letak soal Bang Has.

Terkait kerja Pansus TRW-nya, Hasbullah menceritakan bahwa dalam sepekan ini sedang mengunjungi sejumlah daerah dalam upaya membuat Perda RTRW Jawa Barat terbaru disesuaikan dengan UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020. 

“Dengan Undang Undang Cipta Kerja, hampir semua undang-undang yang berubah. Kita target dalam satu bulan ini, pansus dapat bekerja untuk menyelesaikan, mengkrocet data dengan draf raperda yang masuk ke pansus dari eksekutif. Kemudian raperda ini akan dievaluasi juga oleh Kementerian ATR/BPN,” paparnya.

Pansus telah melakukan koordinasi dengan pemerintahan daerah dalam Wilayah I yaitu, Kota Sukabumi, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kota bogor, Kabupaten Bogor, dan Kota Depok. (hira)